Selasa, Februari 24, 2009

STRIKTUR URETRA


PENDAHULUAN

Uretra merupakan saluran yang urin dari vesika urinaria ke meatus uretra, untuk dikeluarkan ke luar tubuh. Uretra pada pria memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai saluran urin & saluran untuk semen dari organ reproduksi. Panjang uretra pria kira-kira 23 cm & melengkung dari kandung kemih ke luar tubuh, melewati prostate dan penis. Sedangkan uretra pada wanita lurus & pendek, berjalan secara langsung dari leher kandung kemih ke luar tubuh.

Uretra pria dibagi atas dua bagian, yaitu uretra anterior & uretra posterior. Uretra anterior dibagi menjadi uretra bulbaris, penil, & glandular. Fosa navikularis ialah dilatasi distal kecil dalam uretra glandular. Uretra anterior dikelilingi oleh badan erektil, korpus spongiosum. Glandula bulbourethralis (glandula Cowper) terletak pada diafragma urogenitalis & bermuara ke dalam uretra bulbaris. Uretra penil dilapisi oleh banyak kelenjar kecil, glandula Littre.

Uretra posterior terdiri dari uretra pars membranasea & prostatika. Uretra pars prostatika terbentang dari vesika urinaria ke uretra pars membranasea, serta mengandung verumontanum (daerah meninggi pada bagian distal basis uretra pars prostatika yang dibentuk oleh masuknya duktus ejakulatorius dan utrikulus, yang merupakan sisa duktus Muller).1

Uretra juga dapat dibagi atas tiga bagian, antara lain uretra prostatika, uretra membranasea, dan uretra spongiosa. Uretra prostatika dimulai dari leher vesika urinaria dan termasuk juga bagian yang melewati kelenjar prostat. Uretra prostatika merupakan bagian yang paling lebar diantara bagian uretra lainnya. Uretra membranasea adalah uretra yang terpendek dan paling sempit dengan panjang sekitar 12-19 mm. Pada uretra membranasea terdapat spingter uretra eksterna, yang berfungsi dalam pengaturan keluar urin yang dikendalikan secara voluntar. Uretra spongiosa adalah uretra yang terpanjang, kira-kira 150 mm, yang dimulai dari porsio membranasea melewati korpus spongiosum dan berakhir di glan penis.2


Penyakit striktur uretra biasanya sekunder terhadap trauma atau peradangan. Penyakit gonokokus merupakan penyebab utama peradangan, dan penyebab traumatik yang sering terjadi mencakup fraktur pelvis, instrumentasi, atau drainase kateter urinaria jangka panjang. Bila mukosa ditraumatisasi, maka urin cenderung diekstravasasi dan jaringan parut menyebabkan striktura. Pasien dengan striktura dapat timbul dengan infeksi traktus urinarius atau penurunan ukuran dan tenaga aliran urin. Gejala bisa identik dengan hipertrofi prostat benigna pada pria tua3.


PENYEBAB STRIKTUR URETRA

Striktur uretra dapat disebabkan oleh setiap peradangan kronik atau cedera. Radang karena gonore merupakan penyebab penting, tetapi radang lain yang kebanyakan disebabkan penyakit kelamin lain, juga merupakan penyebab uretritis dan periuretritis. Kebanyakan striktur ini terletak di uretra pars membranasea, walaupun juga bisa ditempat lain.

Trauma uretra dapat terjadi pada fraktur panggul dan karena cedera langsung, misalnya pada anak yang naik sepeda dan kakinya terpeleset dari pedal sepeda sehingga jatuh dengan uretra pada bingkai sepeda lelaki sehingga terjadi cedera kangkang. Yang juga tidak jarang terjadi ialah cedera iatrogenik akibat kateterisasi atau instrumentasi5.

Lokasi striktur (1,2,3). 1. Pars membranasea, 2. Pars bulbosa, 3. Meatus uretra, 4. Kandung kemih, 5. Prostat, 6. Rectum, 7. Diafragma urogenital, 8. Simfisis.


Tabel 1. Letak Striktur Uretra dan Penyebabnya

Letak Uretra

Penyebab

Pars membranasea

Pars bulbosa

Meatus

Trauma panggul, kateterisasi “salah Jalan”.

Trauma/ cedera kangkang, uretritis.

Balanitis, instrumentasi kasar.

Penyebab lain terjadinya striktur uretra ialah tindakan-tindakan bedah seperti bedah rekonstruksi uretra terhadap hipospadia, epispadia, kordae, dan bedah urologi.

Striktur uretra paling sering terjadi pada pria karena uretra pria lebih panjang daripada uretra wanita. Penyebab lainnya ialah tekanan dari luar uretra seperti tumor pada hipertrofi prostat benigna, atau pun juga bisa diakibatkan oleh kelainan congenital, namun jarang terjadi. Resiko striktur uretra meningkat pada orang yang memiliki riwayat penyakit menular seksual, episode uretritis berulang, atau hipertrofi prostat benigna.



GEJALA KLINIS

Gejala dan tanda striktur biasanya mulai dengan hambatan arus kemih dan kemudian timbul sebagai sindrom lengkap obstruksi leher kandung kemih seperti digambarkan pada hipertrofi prostat5.

Gejala klinis yang sering ditimbulkan oleh striktur antara lain disuria, kesuliran berkemih, pancaran kemih yang menurun, frekuensi kemih yang abnormal, rasa tidak nyaman, hematuria, nyeri pelvis atau bagian bawah perut, pengosongan kantung kemih yang tidak puas.


KOMPLIKASI

Striktur uretra menyebabkan retensi urin di dalam kantung kemih. Penumpukan urin dalam kantung kemih beresiko tinggi untuk terjadinya infeksi, yang dapat menyebab ke kantung kemih, prostat, dan ginjal. Abses di atas lokasi striktur juga dapat terjadi, sehingga menyebabkan kerusakan uretra dan jaringan di bawahnya6.

Selain itu, resiko terjadinya batu kandung kemih juga meningkat, timbul gejala sulit ejakulasi, fistula uretrokutaneus (hubungan abnormal antara uretra dengan kulit), dan gagal ginjal (jarang)7.


DIAGNOSIS

Untuk menegakkan diagnosis striktur uretra dapat dilakukan pemeriksaan urin. Adanya hematuri, infeksi, atau abnormalitas dari berkemih. Pada striktur uretra biasanya terjadi penurunan aliran urin, penurunan jumlah urin, dan adanya keluhan sulit berkemih serta frekuensi berkemih yang tidak biasa.

Diagnosis pasti terhadap striktur uretra, dapat dilakukan pemeriksaan radiologi dengan kontras. Pemeriksaan ini dapat diketahui letak dan derajat strikturnya. Pemeriksaan radiology dengan kontras yang biasa dilakukan ialah Retrograde Urethrogram (RUG) with Voiding Cystourethrogram (VCUG).

Pemeriksaan yang lebih maju digunakan sistoskopi, yaitu penggunaan kamera fiberoptik pada uretra. Dengan sitoskopi dapat dilihat penyebab striktur, letaknya, dan karakter dari striktur.



TERAPI

Pengobatan terhadap striktur uretra tergantung pada lokasi striktur, panjang/ pendeknya striktur, dan kedaruratannya. Striktur uretra dapat diobati dengan melakukan dilatasi uretra secara periodik. Dilatasi dilakukan dengan halus & hati-hati setiap 2-3 bulan. Namun teknik seperti ini cenderung menimbulkan striktur uretra kembali8.

Komplikasi striktur uretra yang ringan sangat rendah, sehingga pilihan terapi yang dapat diberikan ialah dengan dilatasi uretra atau uretrotomi interna yang dilihat langsung. Pada psien tertentu dengan striktura pendek, maka uretrotomi interna yang dilakukan dengan peralatan pemotong kecil, telah memberikan hasil yang memuaskan. Bila diperlukan dilatasi secara sering, bila ada striktura panjang atau majemuk, bila dilatasi terlalu sulit atau bila striktura terdapat pada anak, maka intervensi bedah terbuka dapat menjadi indikasi.

Beberapa pilihan terapi yang dapat dilakukan antara lain9:

  1. Dilatasi, balon kateter atau dialtor (plastik atau metal) dimasukkan ke dalam uretra untuk membuka daerah yang menyempit.
  2. Obturation, benda yang kecil, elastis, pipa plastik dimasukkan dan diposisikan pada daerah striktur.
  3. Uretrotomi (Endoscopic internal urethrotomy or incision), teknik bedah dengan derajat invasif yang minim, dimana dilakukan tindakan insisi pada jaringan radang untuk membuka striktur. Tindakan ini dikerjakan dengan menggunakan kamera fiberoptik dibawah pengaruh anastesi.
  4. Uretroplasti atau rekonstruksi uretra terbuka, ada dua jenis uretroplasti yaitu uretroplasti anastomosis (daerah yang menyempit dibedah lalu uretra diperbaiki dengan mencangkok jaringan atau flap dari jaringan di sekitarnya) & uretroplasti subsitusi (mencangkok jaringan striktur yang dibedah dengan jaringan mukosa bibir/ Buccal Mucosa Graft, jaringan kelamin, atau jaringan preputium/ Vascularized preputial or genital skin flaps).
  5. Prosedur rekonstruksi multipel (perineal urethrostomy), tindakan bedah dengan membuat saluran uretra di perineum (ruang antara anus dan skrotum).

Penggunaan antibiotik diindikasikan pada pasien yang memiliki infeksi saluran kemih. Antibiotik yang diberikan disesuaikan dengan hasil tes kepekaan. Jika hasil tes kepekaan steril, maka antibiotik dapat diindikasikan atas profilaksis seperti ampisilin atau sefalosporin generasi ke I atau aminoglikosida (gentamisin, ibramisin)8.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Sabiston, David C. 1994. Uretra. Dalam: Sistem Urogenital, Buku Ajar Bedah Bagian 2, hal.463. EGC. Jakarta.
  2. Anonym. 2007. Urinary Bladder And Urethra – Male. http://www.ivy-rose.co.uk/Topics/Urinary_Bladder_Urethra_Male.htm.
  3. Sabiston, David C. 1994. Penyakit Striktur Uretra. Dalam: Sistem Urogenital, Buku Ajar Bedah Bagian 2, hal.488. EGC. Jakarta.
  4. Anonim. 2005. Urinary System. Accessed: http://faculty.southwest.tn.edu/rburkett/urinar28.jpg.
  5. Jong, Wim De, R. Sjamsuhidayat. 2004. Striktur Uretra. Dalam: Saluran Kemih Dan Alat Kelamin Lelaki, Buku Ajar Ilmu Bedah hal.752. EGC. Jakarta.
  6. Anonim. 2005. Urethral Stricture. Accessed: http://www.patient.co.uk/showdoc/urethral-stricture.htm.
  7. Wessells, Hunter. 2005. Urethral Stricture Disease. Accessed: http://depts.washington.edu/uroweb/images/stricture_slide1.jpg.
  8. Anonim. 1992. Striktura Uretra. Dalam: Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Bedah RSUP Denpasar, hal.99. LAB/ UPF ILMU BEDAH FK UNUD. Bali.
  9. Anonim. 2007. Urethral Stricture. Accessed: http://www.med.umich.edu/1libr/urology/umurethral_stricture.htm.


Minggu, Februari 22, 2009

Batu Saluran Kemih (Urolitiasis)

Etiologi

Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran urin, gangguan metabolik, ISK, dehidrasi, dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik) (Purnomo, 2003).

Secara epidemiologis terdapat beberapa factor yang memermudah terjadiya batu saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor itu adalah factor intrinsic yaitu keadaan yang berasal dari tubuh seseorang an faktor ekstrinsik yaitu pengaruh yang berasal dari lingkunagn di sekitarnya. Faktor intrinsic itu antara lain 1) herediter, 2) umur, 3) jenis kelamin. Faktor ekstrinsik diantaranyan adalah 1) geografi: pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran kemih yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt (sabuk batu), sedangkan daerah Bantu di Afrika Selatan hamper tidak dijumpai penyakit batu saluran kemih, 2) iklim dan temperature, 3)asupan air: supan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih, 4) diet: diet banyak purin, oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya penyakit batu saluran kemih, 5) pekerjaan: penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk atau kurang aktifitas (sedentary life) (Purnomo, 2003).


Teori Proses Pembentukan Batu Saluran Kemih

Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin (stasis urin), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalis (stenosis uretero-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis seperti BPH, striktura, dan buli-buli neurigenk merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya batu (Purnomo, 2003).

Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun anorganik yang terlarut didalam urin. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urin jika tidak ada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi Kristal. Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi, dan menarik bahan-bahan lain sehingga akan mejadi bahan yang lebih besar. Meskipun ukurannya cukup besar, agregat Kristal masih rapuh dan belum cukup mampu membuntu saluran kemih. Untuk itu agragat kristal menempel ada epitel saluran kemih (membentuk retensi Kristal), dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk membuntu saluran kemih (Purnomo, 2003).

Kondisi Metastabel dipengaruhi oleh suhu, ph larutan, adanya koloid di dalam urin, konsentrasi solute di dalam urin, laju aliran urin di dalam saluran kemih, atau adanay korpus alienum di dalam saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu (Purnomo, 2003).

Lebih dari 80% batu saluran kemih terdiri atas batu kalsium, baik yang berikatan dengan oksalat maupun dengan fosfat, membentuk batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat;sedangkan sisanya berasal dari batu asam urat, batu magnesium ammonium fosfat (batu infeksi), batu xantin, batu sistein, dan batu jenis lainnya. Meskipun pathogenesis pembentukan batu-batu diatas hampir sama, tetapi suasana didalam saluran kemih yang memungkinkan terbentuknya jenis batu itu tidak sama. Dalam hal ini misalkan batu asam urat mudah terbentuk dalam suasana asam, sedangkan batu magnesium ammonium fosfat terbentuk karena urin bersifat basa (Purnomo, 2003).


Komposisi Batu

Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsure kalsium oksalat atau kalsium fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat (map), xantin, dan sistein, silikat dan senyawa lainnya. Data mengenai kandungan/ komposisi zat penyusun batu penting untuk mencegah kekambuhan. Batu jenis kalsium paling banyak dijumpai kurang lebih 70-80% dari seluruh batu saluran kemih. Faktor terjadinya batu kalsium 1) hiperkalsiuria, 2) hiperoksaluria, 3) hiperurikosuria, 4) hipositraturia, 5) hipomagnesuria. Batu struvit disebut juga batu infeksi karena terbentuknya batu ini disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih. Kuman penyebabnya adalah golongan pemecah urea atau urea splinter yang dapat menghasilkan ensim urease dan mengubah urin menjadi bersuasana basa dengan menghidrolisis urea menjadi amoniak. Batu asam urat merupakan 5-10% dari seluruh batu saluran kemih. Penyakit batu asam urat banyak diderita oleh pasien gout, penyakit mieloproliferatif, pasien yang mendapat terapi kanker, dan pasien yang menggunakan obat urikosurik seperti sulfinpirazone, thiazide, dan salisilat. Kegemukan, peminum alcohol, dan diet tinggi protein mempunyai peluang yang lebi besar untuk menderita penyakit ini. Batu jenis lainnya adalah batu sistein, xanthin, triamteren, dab batu silikat yang jarang dijumpai (Purnomo, 2003).


Foto Polos Abdomen

Pembuatan foto polos abdomen bertujuan melihat kemungkinan adanya batu radioopak di saluran kemih. Batu-batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radioopak dan paling sering dijumpai batu jenis lain, sedangkan batu asam urat bersifat radiolusen (Purnomo (2003).


IVP

Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain IVP dapat mendetekasi adanya batu yang bersifat radiolusen atau semi radioopak yang tidak dapat diamati pada foto polos abdomen. Jika IVP belum dapat menjelaskan keadaan sitem saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai penggantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograde (Purnomo (2003).


USG

USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan IVP, yaitu seperti keadaan-keadaan allergi, terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun, dan pada wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan USGdapat menilai adanya batu ginjal atau buli-buli (yang ditunjukkan sevagai echoic shadow), hidronefrosis, pionefrosis, atau pengkerutan ginjal (Purnomo (2003).


Penatalaksanaan

Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya harus dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk melakukan tindakan/ terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu telah menimbulkan obstruksi, infeksi, atau harus diambil karena sesuatu indikasi sosial (Purnomo, 2003).

Medikamentosa

Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5 mm, karena batu dapat diharapkan keluar spontan. Terapi yang bertujuan untuk mengurangi nyeri, memperlkancar aliran urin dengan pemberian diuretikum, dan minum banyak supaya dapat mendorong batu keluar dari saluran kemih (Purnomo, 2003).

ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)

Alat ESWL adalah pemecah batu yang diperkenalkan pertama kali oleh Caussy pada tahun 1980. Alat ini dapat memecah batu ginjal, batu ureter proksimal, atau batu buli-buli tanpa melalui tindakan invasive dan tanpa pembiusan. Batu dipecah menjadi fragmen-fragmen kecil sehinga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih. Tidak jarang pecahan ini meniimbulkan kolik dan hematuria (Purnomo, 2003).

Endourologi

Tindakan endourologi adalah tindakan invasive minimal untuk mengeluarkan batu saluran keih yang terdiri atas memecah batu, dan kemudian mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang dimasukkan langsung kedalam saluran kemih. Alat itu dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit (perkutan). Proses pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik, dengan memakai energy hidraulik, energy gelombang suara, atau dengan enersi laser. Beberapa tindakan endourologi itu adalah 1) PNL (Percutaneus Nephro Litholapaxy), 2) Litotripsi, 3) Ureteroskopi atau uretero-renoskopi, 4) Ekstraksi Dormia (Purnomo, 2003).

Bedah Laparoskopi

Pembedahan laparoskopi untuk mengambil batu saluran kemih saat ini sedang berkembang. Cara ini banyak dipakai untuk mengambil batu ureter.

Bedah Terbuka

Di klinik yang belum mempunyai fasilitas endourologi, laparoskopi, maupun ESWL, pengambilan batu masih dilakukan melalui pembedahan terbuka. pembedahan terbuka itu antara lain adalah pielolitotomi atau nefrolitotomi untuk mengambil batu pada saluran ginjal, dan ureterolitotomi untuk batu di ureter. Tidak jarang pasien menjalani tindakan nefrektomi atau pengambilan ginjal karena ginjalnya sudah tidak berfungsi dan berisi nanah (pionefrosis), korteksnya sudah sangat tipis, atau mengalami pengkerutan akibat batu saluran kemih yang menimbulkan obstruksi dan infeksi yang menahun (Purnomo, 2003).


Pencegahan

Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per tahun atau kurang dari 50% dalam 10 tahun. Pencegahan yang dilakukan adalah berdasarkan kandungan unsure yang menyususn batu saluran kemih yang diperoleh dari snalisis batu. Pada umumnya pencegahan itu berupa 1) menghindari dehidrasi dengan minum cukup dan diusahakan produksi urin sebanyak 2-3 liter per hari, 2) diet untuk merngurangi kadar zat-zat komponen pembentuk batu, 3) aktivatas harian yang cukup, dan 4) pemberian medikamentosa (Purnomo, 2003).

Beberapa diet yang dianjurkan untuk mengurangi kekambuhan adalah 1) rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urin dan menyebabkan suasaa urinmenjadi lebihasam, 2) rendah oksalat, 3) rendah garam karena natriuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuria, dan 4) rendah purin. Diet rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada pasien yang menderita hiperkalsiuri absortif tipe II (Purnomo, 2003).

DAFTAR PUSTAKA

Purnomo, B., B., 2003. Dasar-Dasar Urologi Edisi Kedua. CV. Infomedika . Jakarta.

Sjamsuhidayat, R., dan Jong W., 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.


TRAUMA GINJAL

Pendahuluan

Ginjal terletak di rongga retroperitonium dan terlindung oleh otot-otot punggung di sebelah posterior dan oleh organ-organ intraperitoneal di sebelah anteriornya. Karena itu cedera ginjal tidak jarang diikuti oleh cedera organ-organ yang mengitarinya. trauma ginjal merupakan trauma terbanyak pada sistem urogenital, lebih kurang 10% dari trauma pada abdomen mencederai ginjal.

Abdominal trauma merupakan cedera ke bagian perut. Mungkin tumpul atau tajam dan mungkin melibatkan kerusakan pada Abdominal organ. Tanda-tanda dan gejala meliputi nyeri pada perut, kesakitan, kaku, dan lebam dari perut eksternal. Abdominal trauma menyajikan risiko berat kehilangan darah dan infeksi. Diagnosa mungkin melibatkan ultrasonography, Computed Tomography, dan Peritoneal lavage, dan mungkin memerlukan perawatan operasi.

Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh berbagai macam rudapaksa baik tumpul maupun tajam.


Penyebab Trauma

Cedera ginjal dapat terjadi secara (1) langsung akibat benturan yang mengenai daerah pinggang atau (2) tidak langsung yaitu merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal secara tiba-tiba di dalam rongga retroperitonium. Goncangan ginjal di dalam rongga retroperitonium menyebabkan regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis. Robekan ini akan memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang selanjutnya dapat menimbulkan trombosis arteri renalis beserta cabang-cabangnya. Cedera ginjal dipermudah jika sebelumnya sudah ada kelainan pada ginjal, antara lain hidronefrosis, kista ginjal, atau tumor ginjal.

Ada 3 penyebab utama dari trauma ginjal , yaitu

1. Trauma tajam

2. Trauma iatrogenik

3. Trauma tumpul

Trauma tajam seperti tembakan dan tikaman pada abdomen bagian atas atau pinggang merupakan 10 – 20 % penyebab trauma pada ginjal di Indonesia.

Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau radiologi intervensi, dimana di dalamnya termasuk retrograde pyelography, percutaneous nephrostomy, dan percutaneous lithotripsy. Dengan semakin meningkatnya popularitas dari teknik teknik di atas, insidens trauma iatrogenik semakin meningkat , tetapi kemudian menurun setelah diperkenalkan ESWL. Biopsi ginjal juga dapat menyebabkan trauma ginjal .

Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal. Dengan lajunya pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah kendaraan, kejadian trauma akibat kecelakaan lalu lintas juga semakin meningkat.

Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Trauma langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja atau perkelahian. Trauma ginjal biasanya menyertai trauma berat yang juga mengenai organ organ lain. Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan pergerakan ginjal secara tiba tiba di dalam rongga peritoneum. Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau robekan tunika intima arteri renalis yang menimbulkan trombosis.

Trauma ginjal deselerasi

Trauma ginjal tumpul

Ada beberapa faktor yang turut menyebebkan terjadinya trauma ginjal. Ginjal yang relatif mobile dapat bergerak mengenai costae atau corpus vertebrae, baik karena trauma langsung ataupun tidak langsung akibat deselerasi. Kedua, trauma yang demikian dapat menyebabkan peningkatan tekanan subcortical dan intracaliceal yang cepat sehingga mengakibatkan terjadinya ruptur. Yang ketiga adalah keadaan patologis dari ginjal itu sendiri.

Sebagai tambahan, jika base line dari tekanan intrapelvis meningkat maka kenaikan sedikit saja dari tekanan tersebut sudah dapat menyebabkan terjadinya trauma ginjal. Hal ini menjelaskan mengapa pada pasien yang yang memiliki kelainan pada ginjalnya mudah terjadi trauma ginjal.



Klasifikasi Trauma

Tujuan pengklasifikasian trauma ginjal adalah untuk memberikan pegangan dalam terapi dan prognosis.

Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma ginjal dibedakan menjadi (1) cedera minor, (2) cedera mayor, (3) cedera pada pedikel atau pembuluh darah ginjal. Sebagian besar (85%) trauma ginjal merupakan cedera minor (derajat I dan II), 15% termasuk cedera mayor (derajat III dan IV), dan 1% termasuk cedera pedikel ginjal.

Klasifikasi trauma ginjal menurut Sargeant dan Marquadt yang dimodifikasi oleh Federle :

Derajat

Jenis kerusakan

Grade I

· Kontusio ginjal.

· Minor laserasi korteks dan medulla tanpa gangguan pada sistem pelviocalices.

· Hematom minor dari subcapsular atau perinefron (kadang kadang).

à 75 – 80 % dari keseluruhan trauma ginjal.

Grade II

- Laserasi parenkim yang berhubungan dengan tubulus kolektivus sehingga terjadi extravasasi urine.

- Sering terjadi hematom perinefron.

à Luka yang terjadi biasanya dalam dan meluas sampai ke medulla.

à 10 – 15 % dari keseluruhan trauma ginjal.

Grade III

- Laserasi ginjal sampai pada medulla ginjal, mungkin terdapat trombosis arteri segmentalis.

- Trauma pada vaskularisasi pedikel ginjal

à 5 % dari keseluruhan trauma ginjal

Grade IV

- Laserasi sampai mengenai kalikes ginjal.

- Laserasi dari pelvis renal

Grade V

- Avulsi pedikel ginjal, mungkin terjadi trombosis arteri renalis.

- Ginjal terbelah (shattered).


Diagnosis

Kecurigaan terhadap adanya cedera ginjal jika terdapat:

  1. Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah, dan perut bagian atas dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya jejas pada daerah itu.
  2. Hematuria.
  3. Fraktur costa sebelah bawah (T8-T12) atau fraktur prosesus spinosus vertebra.
  4. Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang.
  5. Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu lintas.

Gambaran klinis yang ditunjukkan oleh pasien trauma ginjal sangat bervariasi tergantung pada derajat trauma dan ada atau tidaknya trauma pada organ lain yang menyertainya. Perlu ditanyakan mekanisme cedera untuk memperkirakan luas kerusakan yang terjadi.

Pada trauma derajat ringan mungkin hanya didapatkan nyeri di daerah pinggang, terlihat jejas berupa ekimosis, dan terdapat hematuria makroskopik ataupun mikroskopik. Pada trauma mayor atau ruptur pedikel seringkali pasien dating dalam keadaan syok berat dan terdapat hematom di daerah pinggang yang makin lama makin membesar. Dalam keadaan ini mungkin pasien tidak sempat menjalani pemeriksaan PIV karena usaha untuk memperbaiki hemodinamik seringkali tidak membuahkan hasil akibat perdarahan yang keluar dari ginjal cukup deras. Untuk itu perlu segera dilakukan eksplorasi laparotomi untuk menghentikan perdarahan.


Pencitraan

Jenis pencitraan yang diperiksa tergantung pada keadaan klinis dan fasilitas yang dimiliki oleh klinik yang bersangkutan. Pemeriksaan dimulai dari IVP guna menilai tingkat kerusakan ginjal dan melihat keadaan ginjal kontralateral.

IVP dilakukan jika diduga ada (1) luka tusuk atau luka tembak yang mengenai ginjal, (2) cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria makroskopik, dan (3) cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria mikroskopik dengan disertai syok.

Pemeriksaan USG juga dapat dilakukan untuk menemukan adanya kontusio parenkim ginjal atau hematoma subkapsuler dan dapat pula diperlihatkan adanya robekan kapsul ginjal.

CT scan dapat menunjukkan adanya robekan jaringan ginjal, ekstravasasi kontras yang luas, dan adanya nekrosis jaringan ginjal serta mendeteksi adanya trauma pada organ lain.


Komplikasi

Jika tidak mendapatkan perawatan yang cepat dan tepat, trauma mayor dan trauma pedikel sering menimbulkan perdarahan yang hebat dan berakhir dengan kematian. Selain itu kebocoran system kaliks dapat menimbulkan ekstravasasi urine hingga menimbulkan urinoma, abses perirenal, urosepsis, dan kadang menimbulkan fistula renokutan. Dikemudian hari pasca cedera ginjal dapat menimbulkan penyulit berupa hipertensi, hidronefrosis, urolitiasis, atau pielonefritis kronis.


Penatalaksanaan

Pada setiap trauma tajam yang diduga mengenai ginjal harus dipikirkan untuk melakukan tindakan eksplorasi, tetapi pada trauma tumpul, sebagian besar tidak memerlukan operasi. Terapi pada trauma ginjal adalah:

  1. Konservatif

Tindakan konservatif ditujukan pada trauma minor. Dilakukan observasi tanda-tanda vital, kemungkinan adanya penambahan massa di pinggang, adanya pembesaran lingkaran perut, penurunan kadar haemoglobin darah, dan perubahan warna urine.

Jika selama tindakan konservatif terdapat tanda-tanda perdarahan atau kebocoran urine yang menimbulkan infeksi, harus segera dilakukan tindakan operasi.

  1. Operasi

Operasi ditujukan pada trauma ginjal mayor dengan tujuan untuk segera menghentikan perdarahan. Indikasi eksplorasi ginjal, yaitu syok yang tidak teratasi dan syok berulang. Selanjutnya perlu dilakukan debridement, reparasi ginjal atau tidak jarang harus dilakukan nefrektomi parsial bahkan nefrektomi total karena kerusakan ginjal yang sangat berat.